Biografi Imam Ghazali: Ahli Tasawuf Islam
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali
dilahirkan di Thus, sebuah kota di Khurasan, Persia, pada tahun 450 H
atau 1058 M. Ayahnya seorang pemintal wool, yang selalu memintal dan
menjualnya sendiri di kota itu. Al-Ghazali mempunyai seorang saudara.
Ketika akan meninggal, ayahnya berpesan kepada sahabat setianya agar
kedua putranya itu diasuh dan disempurnakan pendidikannya
setuntas-tuntasnya. Sahabatnya segera melaksanakan wasiat ayah
al-Ghazali. Kedua anak itu dididik dan disekolahkan, setelah harta
pusaka peninggalan ayah mereka habis, mereka dinasehati agar meneruskan
mencari ilmu semampu-mampunya.
Imam Ghazali sejak kecil dikenal sebagai seorang anak yang cinta ilmu
pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki sekalipun
diterpa duka cita, dilanda aneka rupa duka nestapa dan sengsara. Dan di
masa kanak-kanak, Imam Ghazali belajar kepada Ahmad bin Muhammad
ar-Radzikani di Thus kemudian belajar kepada Abi Nashr al-Ismaili di
Jurjani dan akhirnya kembali ke Thus lagi. Sesudah itu Imam Ghazali
pindah ke Nisabur untuk belajar kepada seorang ahli agama kenamaan di
masanya, yaitu al-Juwaini, Imam al-Harmain (w. 478 H atau 1085 M). Dari
beliau inilah Imam Ghazali belajar ilmu kalam, ilmu ushul, dan ilmu
pengetahuan agama lainnya.
Imam Ghazali memang orang yang cerdas dan sanggup mendebat segala
sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih hingga Imam
al-Juwaini sempat memberi predikat beliau itu sebagai orang yang
memiliki ilmu yang sangat luas bagaikan "laut dalam nan menenggelamkan (bahrun mughriq)".
Ketika gurunya meninggal dunia, al-Ghazali meninggalkan Nisabur menuju
ke istana Nidzam al-Mulk yang menjadi seorang perdana menteri Sultan
Bani Seljuk. Karena kehebatan ilmunya, akhirnya pada tahun 484 atau 1091
Nidzam al-Mulk mengangkat Imam Ghazali sebagai guru besar di
Universitas yang didirikannya di Baghdad.
Di tengah-tengah kesibukannya mengajar di Baghdad, beliau masih sempat mengarang sejumlah kitab sepertiAl-Basith,
Al-Wasith, Al-Wajiz, Khulashah Ilmu Fiqh, Al-Munqil fi Ilm al-Jadal
(Ilmu Berdebat), Ma'khadz al-Khalaf, Lubab al-Nadzar, Tashin
al-Ma'akhidz, dan Al-Mabadi' wa al-Ghayat fi Fann al-Khalaf.
Begitu juga di tengah-tengah kesibukan ini, beliau juga belajar berbagai
ilmu pengetahuan dan filsafat klasik seperti filsafat Yunani,
sebagaimana beliau juga mempelajari berbagai aliran agama yang beraneka
ragam yang terkenal di waktu itu. Beliau mendalami berbagai bidang studi
ini dengan harapan agar dapat menolongnya mencapai ilmu pengetahuan
sejati yang sangat didambakan.
Setelah empat tahun, beliau memutuskan untuk berhenti mengajar di
Baghdad. Lalu ditinggalkannya kota tersebut untuk menunaikan ibadah
haji. Setelah itu beliau menuju Syam, hidup dalam Jami' Umawy dengan
kehidupan serba penuh ibadah, dilanjutkan pengembaraan ke berbagai
padang pasir untuk melatih diri menjauhi barang-barang terlarang
(haram), meninggalkan kesejahteraan dan kemewahan hidup, mendalami
masalah keruhanian dan penghayatan agama.
Kemudian pada suatu waktu, beliau pulang ke Baghdad kembali mengajar di
sana. Hanya saja beliau menjadi guru besar dalam bidang studi lain tidak
seperti dahulu lagi. Setelah menjadi guru besar dalam berbagai ilmu
pengetahuan agama, sekarang tugas beliau menjadi imam ahli agama dan
tasawuf serta penasehat spesialis dalam bidang agama. Kitab pertama yang
beliau karang setelah kembali ke Baghdad ialah kitab Al-Munqidz min al-Dholal (Penyelamat dari Kesesatan).
Kitab ini dianggap sebagai salah satu buku referensi yang paling
penting bagi sejarawan yang ingin mendapatkan pengetahuan tentang
kehidupan Imam Ghazali. Kitab ini mengandung keterangan sejarah hidupnya
di waktu transisi yang mengubah pandangannya tentang nilai-nilai
kehidupan. Dalam kitab ini juga, beliau menjelaskan bagaimana iman dalam
jiwa itu tumbuh dan berkembang, bagaimana hakikat ketuhanan itu dapat
tersingkap atau terbuka bagi umat manusia, bagaimana mencapai
pengetahuan sejati (ilmu yaqin) dengan cara tanpa berpikir dan logika
namun dengan cara ilham dan mukasyafah (terbuka hijab) menurut ajaran tasawuf.
Sekembalinya Imam Ghazali ke Baghdad sekitar sepuluh tahun, beliau
pindah ke Naisaburi dan sibuk mengajar di sana dalam waktu yang tidak
lama, setelah itu beliau meninggal dunia di kota Thus, kota
kelahirannya, pada tahun 505 H atau 1111 M.
0 komentar:
Posting Komentar